Ini adalah cerita kedua tentang Berixius Lestrange. Enjoy It!
Pagi itu matahari bersinar cerah, sepertinya matahari ikut berbahagia karena satu-satunya orang yang ditakuti di seluruh pelosok negeri sudah pergi dan takkan pernah kembali lagi. Langit biru polos tanpa sedikitpun awan yang menggantung di angkasa. Angin bertiup sepoi-sepoi, menarikan bunga-bunga yang mekar indah. Penduduk desa Nottingham , beraktifitas dengan semangat karena sepertinya rasa bahagia mereka kembali lagi dan kabut-kabut dingin yang selama ini menghantui sepanjang tahun sirna saat ayam jantan berkokok shubuh tadi. Tapi masih ada satu tempat yang masih diselimuti kabut dingin.
Pagi itu matahari bersinar cerah, sepertinya matahari ikut berbahagia karena satu-satunya orang yang ditakuti di seluruh pelosok negeri sudah pergi dan tak
Rumah besar seperti istana bertengger dengan megah diatas bukit dekat desa itu. Sekeliling rumah itu, diselimuti kabut tipis, banyak yang beranggapan itu bukan kabut biasa, kabut misterius seperti kabut yang sepanjang tahun ini menyelimuti pelosok negeri. Hanya sedikit warga yang pernah melihat penghuni rumah itu. Yang pernah melihat, mengakui orang yang ada di dalam rumah batu itu, sepertinya kuno karena tak ada tanda-tanda mereka memiliki peralatan elektronik. Listrikpun sepertinya tak ada. Rumah itu dihuni tujuh orang, ada seorang nenek, sepasang suami istri, sepasang anak kecil, mungkin anak dari suami istri itu, dan ada gadis muda yang sering menyapa penduduk desa bila turun ke desa untuk jalan-jalan.
TAAARR....!!!
Orang-orang yang dapat mendengar sumber suara tersebut kaget nyaris pingsan. Ada yang merepet dan memaki. Mereka melihat ke arah dekat tong sampah pasar desa itu. Sepasang pria wanita bangun sambil membersihkan jubah hitam mereka yang aneh. Yang pria memaki ke arah tong sampah dan yang wanita memukul si pria ketika menyadari banyak orang yang melihat mereka. Wanita berjubah hitam itu yang duluan senyum ke arah kumpulan orang yang berbelanja.
”Oh, Mr dan Mrs. Lestrange” kata pria penjual ayam potong. “Selamat pagi. Ayam Mrs. Lestrange?”
“Oh tidak, makasih muggle” kata Nuxzagetha Lestrange. Pria penjual ayam keheranan saat dia dipanggil muggle.
Dia pergi sambil menarik suaminya. Orang-orang sampai kapanpun tak kan tahu dari mana mereka muncul, karena dibelakang tong sampah berdiri tembok tinggi padat dan tak satupun dari mereka melihat pasangan itu berpapasan ketika mereka ke arah tong sampah. Hanya ada satu pendapat dan gila, mereka muncul dari udara seperti penyihir dalam dongeng. Pasangan Lestrange menyusuri jalan desa ke arah bukit. Banyak anak yang takut saat melihat jubah mereka menyeret di jalan batu.
”Kenapa kita tak bisa berapparate di pekarangan, honey?” kata Nu tanpa memedulikan orang-orang yang melihat mereka. ”Aku harus segera mandi, jubahku kena sampah saat kau menjatuhkan tong sampah tadi. Dan aku malu sekali saat dipanggil sama sampah dunia sihir tadi”
”Aku hanya menduga, ibu sudah tahu kita kalah. Pangeran Kegelapan sudah tak ada. Dia melindungi rumah dengan mantra anti apparate. Untuk jaga-jaga kalau ada yang mengunjungi kita ke rumah.” balas Zaeful.
”Apakah kau beranggapan Kementrian dan Orde akan mencari kita sampai ke rumah, honey?”
”Ya, seratus persen.”
Kini mereka menyusuri jalan perbukitan. Walaupun samar-samar karena kabut, mereka dapat melihat rumah besar bertengger di atas bukit itu seperti burung hantu raksasa. Zaeful membisikkan sesuatu ke gerbang besi dan gerbang itu membuka dengan nyaring. Mereka melangkah dan gerbang menutup. Suasana dingin mencekam yang dikenal mereka mendadak muncul. Bunga-bunga dipetak halaman membeku dan sudah mati lama sekali. Perasaan seperti tidak bahagia muncul ketika suara berkeretak muncul disekeliling mereka.
”Aku masih tak suka cara berpikir ibumu, menjaga rumah memakai dementor.”
Dan benar saja, tiga sosok besar berkerudung melayang mendatangi mereka dan segera menjauh ketika Nu mengeluarkan seekor buaya perak dari tongkatnya.
”Mau gimana lagi, dia ibuku” jawab Zaeful dengan tersenyum.
Mereka berjalan ke arah pintu dengan dipimpin patronus buaya ke pintu, semua jendela dalam rumah itu tertutup. Pada cerobongnya, banyak mengeluarkan asap. Zaeful mengetuk pintu, dan terdengar langkah-langkah tergesa ke arah pintu.
”Siapa itu?” terdengar suara gadis dari dalam. Patronus buaya perlahan lenyap.
”Aku” sahut Zaeful.
Berikutnya terdengar suara kunci dibuka terburu-buru dan pintu terbuka. Gadis berambut hitam, berumur kira-kira dua puluh tahun muncul dan segera memeluk Zaeful.
”Zizi! Untunglah kau selamat!” dia melepas pelukannya dan segera membukakan pintu lebar ketika melihat Nu.
”Kalian bau sekali. Ibu! Zizi dan Nu pulang!”
Terdengar langkah-langkah tergesa menuruni tangga. Muncul seorang perempuan tua dengan aura tegas melekat. Memakai jubah hijau lembayung. Dia menggendong bayi perempuan yang lagi memegang burung mainan. Burung itu hidup dan meronta-ronta digenggamannya. Disebelahnya ada anak laki-laki kecil yang langsung berlari menuju Zaeful dan Nu, memeluknya.
”Oh kalian, untunglah kalian selamat” kata perempuan tua itu sembari memeluk mereka. ”Uh, kalian bau sekali. Kena ketiak raksasa waktu duel?” katanya sambil berjengit.
”Kami berapparate di pasar, tepat di atas tong sampah. Kami tidak bisa muncul di pekarangan.” kata Zaeful. Si gadis cekikikan. ”Kenapa kau tidak menyusul kami ke Hogwarts. Kita kalah Elyana.”
”Aku tidak mengijinkan dia kesana. Masih terlalu muda.” kata ibu mereka. ”Dan aku harus segera mengantisipasi terhadap keberadaan rumah kita. Sewaktu aku mendengar berita kekalahan dari keluarga Zabini, aku tahu tak lama lagi Kementrian maupun Orde akan kesini untuk meminta keterangan keberadaan kalian kalau kalian selamat. Jadi aku memasang Anti Apparate dan Disapparate. Rumah ini dan halaman bukit.”
”Mantra yang bagus sekali Chaxill” kata Nu, maju kedepan untuk mengambil bayi di pelukan mertuanya. Tapi Chaxill mundur, menolak.
”Kau perlu mandi. Aku tak mau Rixa kotor. Kau juga perlu mandi Zaeful” kata Chaxill. ”Ayo Berry, kau belum sarapan” Anak itu menjauh dari ayahnya dan mangikuti neneknya. Memegang jubahnya. Naik ke tangga ke lantai atas.
*****
”Ceritakan padaku, bagaimana dia bisa mati ditangan anak itu” kata Chaxill ketika mereka semua sudah berada di meja makan. Nu dan Zaeful sudah mandi. Kini Nu memakai jubah ungu, dan Zaeful memakai jubah abu-abu. Perapian di ruangan itu menyala. Aroma bubur menguar di ruangan itu. Ruangan satu-satunya yang sepertinya sering dikunjungi.
“Entahlah Chaxill, aku melihat Pangeran Kegelapan tewas karena mantranya sendiri, membalik. Kau tahukan legenda tongkat sihir elder?” kata Nu.
“Ya aku tahu itu. Kenapa?”
”Setelah dia tahu tongkatnya tak kan melakukan apa-apa ketika berhadapan dengan tongkat Potter, selain mengeluarkan roh-roh orang yang telah dibunuhnya, karena koneksi. Dan dia menggunakan tongkat Lucius ketika penyerbuan ketika Potter dipindahkan Orde,.tapi tongkat itu hancur ketika berhadapan dengan tongkat Potter. Jadi dia memutuskan untuk memakai tongkat yang paling kuat untuk aksi berikutnya.”
Semua dalam ruangan itu menyuapkan buburnya. Berry dengan lahap melahapnya dan Rixa sepertinya lebih asyik melepas organ burung mainannya. Dalam pelukan neneknya.
”Tongkat Pangeran Kegelapan dalam penyerangan ini adalah tongkat sihir Elder yang dia curi dari pemilik sebelumnya, Dumbledore dari kuburannya. Tongkat itu sangat kuat, tapi belum memberikan kekuatannya sepenuhnya sebelum mengalahkan majikan sebelumnya. Dan itu sebabnya dia menyuruh Nagini membunuh Abdi Setianya, Severus Snape. Tapi ternyata dia salah. Menurut cerita Potter, sebelum Snape membunuh Dumbledore, Dumbledore telah diserang dulu sehingga tongkat itu langsung memilih orang lain menjadi majikan berikutnya. Dia adalah Draco Malfoy anak Lucius.” kata Nu dengan nada lambat.
Sendok di tangan Elyana berhenti di udara.
”Apakah dia membunuh Draco juga?” kata Chaxill.
“Pengennya sih begitu tapi Potter melanjutkan ceritanya. Saat dia kabur bersama teman-temannya dari rumah Malfoy, dia telah melucuti Draco dan dialah pemilik tongkat itu sekarang. Itulah sebabnya, kutukan tongkat itu membalik ketika Pangeran Kegelapan ingin membunuhnya.”
”Aneh sekali” kata Chaxill. ”Jadi sekarang tongkat itu milik Harry Potter. Bagaimana kabar Keluarga Malfoy?”
”Aku benci sekali, mereka tidak melalukan apa-apa saat perang selain sembunyi dan sepertinya mereka sekarang di pihak Orde.” timpal Nu.
”Dasar penghianat pengecut!” sambut Elyana.
”Dan bagaimana kabar teman-teman kalian? Banyak ditangkap?”
”Ya bu, mungkin hanya tiga belas yang berhasil lolos. Itu rombongan kami.” kata Zaeful. ”Bayak yang dilumpuhkan, Rudy pingsan. Dan ada juga yang tewas. Bella termasuk yang tewas bu. Dibunuh Molly Weasley.” Chaxill menganga dan terdengar ”oh tidak” dari Elyana.
Mendadak ruang makan sunyi, denting sendok tak lagi terdengar di meja makan. Cuma suara ocehan Rixa yang masih asyik memereteli mainannya, kemudian terdengar rengekan.
”Bibi Bella meninggal?” isak Berry.
”Oh, tidak. Seharusnya kita tak membicarakan ini sewaktu sarapan, bersama dia.” kata Nu. ”Jangan sedih sayang, bibi Bella meninggal dan menjadi pahlawan kita.” katanya. Berry masih terisak.
”Pergi ke kamarmu, Berry.” pinta ayah nya.
Pada saat Berry akan turun dari kursinya, terdengar bunyi letusan keras. Makhluk mungil, berambut hitam panjang diikat, memakai sari india berdiri diatas karpet ruang makan.
”Astaga. Apa yang kau pakai Anjeli? Kau memberi kebebasan peri rumahmu memakai pakaian layak, Chaxill?” kata Nu tak percaya.
”Kau ini, kau tahukan aku suka sekali mereka. Aku baru saja mengijinkannya memakai sari kesukaannya kalau dia memberikan nyawanya untuk selalu melindungi kita. Ada apa Anjeli?”
Peri rumah itu membungkuk dan maju. Dia berbicara dan suaranya melengking.
”Maafkan Anjeli nyonya Nuxzagetha.” katanya kepada Nu. ”Nyonya besar, tadi Anjeli keliling di desa muggle, tidak menampakkan wujud Anjeli, nyonya. Tiba-tiba Anjeli melihat dua orang mencurigakan di pasar. Ternyata benar, Anjeli pernah melihat mereka di koran. Anjeli tahu pasti Nyonya tak kan suka ini, tapi mereka sudah ada di depan gerbang.” cicit Anjeli. ”tak bisa masuk karena gerbang tak mengijinkan masuk.”
Mendadak ruang makan terdengar suara kursi digeser. Mereka semua mengintip dari celah jendela yang menutup. Di luar gerbang, berdiri dua pria memakai pakaian muggle. Menatap ke arah rumah dan sesekali mengulurkan tongkat ke gerbang. Satu diantaranya gemuk.
”Aku kenal yang gendut, itu Adie Flamel. Auror. Mereka pasti ingin menangkap kita.” kata Zaeful.
”Kita harus bagaimana?” kata Nu ketakutan.
”Kalian harus sembunyi. Pergi ke luar negeri bila perlu.” kata Chaxill
”Tapi bagaimana dengan anak-anak. Kami pasti akan sembunyi lama.” kata Zaeful
”Anak-anak bisa kita bawa, honey” balas Nu. ”Kita bisa sembunyi ke Indonesia,. Aku banyak teman disana. Kita bisa mencari rumah disana.”
”Bagaimana dengan Berry? Dia perlu ke Hogwarts.”
“Kita bisa mensekolahkan dia di SAOM atau GBUW.”
“Apa itu?” timpal Chaxill
“Sekolah sihir juga. Sidomulyo Academy of Magic. Ini lebih populer dari Gambir Baru University of Magic. Sekolah khusus cowok. Tapi kita tak kan memasukkannya di BAWIS.”
“Dan apa itu BAWIS?” kata Zaeful
“Batu Bara Witch Indonesian School . Sekolah sihir untuk cewek.”
Elyana terbahak.
“Sudahlah. Biar aku urus Berry. Aku akan tetap memasukkannya di Hogwarts. Sebaiknya kalian bawa Rixa, dia lebih butuh kalian.” kata Chaxill dan memberikan Rixa ke gendongan ibunya. ”Ely, pertambah proteksi rumah ini. Aku tak ingin pengacau.”
”Baik Bu” kata Elyana.
Zaeful dan Nu menghampiri anaknya Berry dan berpelukan untuk selamat tinggal. Elyana membuka jendela ruang makan lebar-lebar dan mengucapkan mantra. Desiran dan pancaran sinar keluar dari tongkatnya.
”protego totalum....salvio hexia....repello muggletum” kata Elyana. Perisai tak nampak mengelilingi area bukit rumah itu. ”Sudah Mom, muggle juga tak akan datang ke rumah kita.”
”Belum cukup” kata ibunya. Dia berjalan ke arah jendela dan menggumamkan sesuatu. Mendadak sekeliling mereka diterangi cahaya merah. ”Sudah selesai. Aku telah membuat rumah ini hanya kelihatan rumah tua tak berpenghuni yang habis terbakar. Aku juga telah membuat jampi memori dalam area luas. Penduduk desa akan melupakan kita dan kita harap jampi memori ku berhasil juga untuk teman kita di luar.” Terdengar suara kagum dari anak-anaknya.
”Tak perlu begitu, kalian lupa kalau aku juara dunia Liga Duel Maut?” katanya tersenyum. ”Anjeli, aku menunjukmu menjadi pemegang kunci kerahasiaan rumah ini.” katanya sambil menjulurkan tongkat ke arah Peri Rumah itu. Anjeli bergidik. Melihat ini, mimik kekaguman sirna dari wajah Nu.
”Apa kau gila, mempercayakan peri rumah untuk menjaga nyawa kalian semua?” dia melotot dan suaminya geleng-geleng.
”Tenang Nu. Aku sangat mempercayai dia.” kata Chaxill. Anjeli membunguk sangat dalam. ”Aku sangat kenal dia. Dan pasti dia juga mempercayaiku. Kalian bisa disapparate di ruangan ini. Aku tidak memasang mantra antinya di ruang makan.”
Nu dan Zaeful menghampiri untuk memeluk Chaxill dan Elyana.
“Oh ya, kalian sebaiknya juga membawa ini. Biar kalian tidak kerepotan. Kalian juga harus melindungi rumah kalian.” kata Chaxill. ”Keken!” panggilnya.
Terdengar letusan kedua. Sosok Peri Rumah muncul. Dia memakai kimono ungu. Terlihat sangat ganjal seperti halnya dengan Anjeli peri rumah bersari merah. Nu tak segan untuk menyembunyikan keheranannya.
”Nyonya besar memanggil Keken?” katanya sambil membungkuk dalam-dalam.
”Pergilah bersama anakku dan istrinya. Bantu-bantu beresin rumah mereka. Dan jaga juga Rixa untukku.”
”Baik Nyonyaku” Keken berjalan dengan semangat menghampiri Zaeful dan Nu.
”Sebaiknya aku yang memimpin.” kata Nu kepada suaminya. ”Karena hanya aku yang tahu dimana temanku tinggal” tambahnya kepada peri rumah sambil memegang tangannya.
Dengan terdengar bunyi letusan ketiga di ruangan itu, Pasangan Lestrange menghilang bersama Keken si peri rumah. Dua auror di luar telah pergi dan keheranan kenapa mereka bisa berdiri di bawah bukit. Seperti mereka, penduduk desa Nottingham juga telah melupakan keberadaan keluarga Lestrange di desa mereka, bahkan juga tidak mengetahui lagi dimana rumah besar yang sekarang mereka lihat hanyalah reruntuhan rumah tua yang habis tebakar di atas bukit yang berkabut.
Tiga tahun dari sekarang, Berry diantar bibi dan neneknya berbelanja keperluan sekolahnya di Diagon Alley. Diantar ke King Cross dan mengucapkan sampai jumpa ke arah mereka ketika Hogwarts Express perlahan-lahan meninggalkan nenek dan bibi nya. Terkagum-kagum melihat siluet kastil Hogwarts yang berdiri diatas bukit sementara dia dan calon teman-temannya berlayar di danau hitam dengan perahu. Berdiri bersama yang lainnya di Aula Besar untuk diseleksi.
“Lestrange, Berixius” kata guru bertubuh kecil.
“SLYTHERIN” teriak Topi Seleksi. Padahal Topi Seleksi belum menyentuh rambut hitamnya.
Terdengar sorak sorai dari meja anak-anak Slytherin. Dan keheranan dari murid lainnya bahkan guru-guru. Perempuan yang duduk pesis di tengah meja guru mengelus dadanya. Sementara Berry tersenyum bahagia saat banyak anak yang menepuk punggungnya. Tak pernah tahu nasib dia di masa depan.
cerita yang menginspirasi..........
BalasHapus